Sebagian orang percaya bahwa masa remaja merupakan masa yang paling indah dan menyenangkan. Namun, tidak sedikit pula yang menganggap usia remaja sebagai usia yang penuh gonjang-ganjing, membingungkan, dan penuh tekanan. Di kebanyakan negara Barat, kaum remaja umumnya menyimpan problem pribadi yang pelik dan serius. Pada gilirannya, problem yang mereka alami terpancar keluar dalam berbagai bentuk kenakalan bahkan kejahatan, mulai dari konflik dengan orang tua, seks bebas, kasus penembakan di sekolah, hingga upaya bunuh diri. Begitu seriusnya persoalan remaja ini hingga ada psikolog di Barat yang menyarankan agar setiap remaja berusia 12 tahun dikunci saja di dalam gudang dan baru di lepas saat mereka berusia 20 tahun. Problem remaja di Indonesia secara umun belum serius. Namun, bisa saja gejala yang sama menular ke negeri ini nantinya, bersama dengan kuatnya gelombang westernisasi yang melanda masuk melalui televisi dan berbagai media.
Remaja merupakan sebuah fase penting dalam pertumbuhan seorang manusia. Banyak perubahan penting yang dialami oleh seorang anak saat memasuki usia remaja atau dewasa. Balig atau pubertas merupakan gerbang yang mengantarkan seorang anak menuju pribadi yang baru. Fisiknya mengalami perubahan, begitu pula dengan keadaan mental dan psikologisnya. Idealnya perubahan-perubahan ini membawa sang anak pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. “ Perubahan itu sendiri belum tentu berarti kemajuan walaupun kemajuan sudah tentu mensyaratkan perubahan” ( Henry Steele Commager )Banyak remaja yang ternyata tidak siap dengan perubahan-perubahan yang dialaminya. Keluarga, sekolah, dan masyarakat modern seolah lupa untuk mempersiapkan mereka melewati fase yang sangat penting dalam hidup ini. Akibatnya, perubahan-perubahan fisik yang terjadi secara natural pada usia 12 atau 13 tahun itu boleh jadi disikapi dengan perilaku dan mentalitas yang tidak sesuai. Tubuh yang sudah berubah dewasa tidak diimbangi dengan keadaan psikologis yang juga dewasa, kalau tidak dikatakan masih tetap kekanak-kanakan.
Remaja biasanya memang didefinisikan sebagai peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Penjelasan ini tampaknya memuaskan dan cukup ideal dalam memberi alasan bagi keadaan remaja. Idealnya ini merupakan peralihan atau perubahan yang sangat halus dan bertahap, sehingga tidak merasakan gejolak apa-apa antara kondisi anak dan dewasa. Namun, sayangnya tidak demikian yang terjadi. Saat mengalami pubertas tubuh fisik berubah secara dramatis. Organ-organ dan fungsi seksual mengalami pendewasaan secara cepat. Begitu memasuki masa balig, seorang anak remaja sudah bisa berperan secara seksual setara dengan orang-orang dewasa. Bahkan, pada tahun yang sama itu pula ia sudah bisa menikah dan mendapatkan anak.Itu perubahan yang terjadi secara fisik. Adapun secara psikologis dan sosial, banyak remaja yang tidak siap untuk menjadi dewasa pada masa puber. Jadi fisiknya sudah dewasa, tetapi kondisi sosial dan psikologisnya masih belum dewasa. Dengan kata lain, belum memiliki ststus dewasa dan karenanya belum memiliki hak yang sama dengan orang-orang dewasa, walaupun secara fisik sebenarnya sudah dewasa. Akhirnya menjadi orang-orang dewasa sebagian dan kanak-kanak sebagian sera terombang-ambing pada posisi yang serba tanggung.
Sebenarnya, proses tumbuh merupakan hal yang alamiah dan menyenangkan. Sebagaimana dikatakan oleh Pearl S. Buck, “ Pertumbuhan itu sendiri mengandung kuman kebahagiaan”. Tetapi masih banyak remaja tidak merasa bahagia dengan pertumbuhan yang dialaminya. Ketidakbahagiaan masa remaja ini sangat ketara di kalangan remaja-remaja Barat. Pertumbuhan terkadang terasa sulit dan bahkan menyakitkan. Di antara kaum remaja, ada yang menganggap usia belasan tahun sebagai the most wonderful phase in life fase paling indah dalam hidup, tetapi tak sedikit juga yang menilai periode ini sebagai masa-masa penuh gejolak dan tekanan. Masa di mana “terlalu tua untuk mainan tetapi juga terlalu muda untuk barang-barang orang dewasa”. Banyak remaja hidup dalam kesenjangan yang serius antara kedewasaan biologis atau fisik dan kebelumdewasaan sosial serta psikologis. Inilah yang menjadi sumber ketidakbahagiaan serta kesulitan masa remaja. Pada saat terjadi perubahan-perubahan biologis pada diri seorang anak, ia mulai membutuhkan penjelasan-penjelasan psikologis dan filosofis seputar identitas diri dan tujuan hidupnya. Bila tidak ada yang menjelaskan tentang persoalan ini padanya, maka hal itu akan menjadi pertanyaan laten yang terus bergaung dan menganggu jiwanya.
Kathleen White dan Joseph Speisman dalam buku mereka, Remaja, menjelaskan bahwa remaja cenderung “ bergelut dengan isu mengenai siapa dirinya dan ke mana tujuannya”. Begitu seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga “barangkali hanyalah pada masa remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri”. Segelintir remaja barangkali benar-benar lulus sebagai ahli filsafat moral, tetapi sebagian besar yang lain agaknya malah menjadi kelompok hedonis di sekitarnya. Banyak yang gagal dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penting dan mendasar tersebut. Jane Kroger juga mengatakan bahwa “ Remaja agaknya merupakan suatu saat … ketika seseorang dihadapkan dengan persoalan definisi diri”. Pada masa-masa ini, remaja bertanya-tanya pada dirinya sendiri, “ Siapa sebenarnya dirinya?” “ Akan ke mana hidupnya ini menuju?” “ Apa pandangan orang-orang sekitarnya terhadap dirinya?” Dan, sebagainya. Mereka mencari diri mereka sendiri. Dan sebagaimana yang dikatakan Michener, memang “untuk tujuan inilah para lelaki dan perempuan melakukan perjalanan, yaitu untuk menemukan diri mereka sendiri. Jika mereka gagal dalam hal ini, maka tak ada artinya hal-hal lainyang mereka temukan”.
Pertanyaan itu begitu sulitnya bagi kebanyakan remaja kerena mereka memang tidak pernah dipersiapkan untuk menghadapi sebelum itu. Namun, sebagian remaja lainnya boleh jadi tidak mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaaan tersebut, bahkan mungkin ada yang menganggapnya bukan pertanyaan sama sekali, karena begitu jelasnya identitas serta tujuan hidup mereka. Remaja yang lulus dalam problem ini biasanya memiliki keluarga yang harmonis dan mampu membimbing meraka dengan baik, termasuk dalam hal-hal keremajaan dan kedewasaan. Bagi remaja yang kebingungan dengan persoalan identitas diri, problemnya menjadi lebih pelik lagi karena dunia modern sekarang ini justru menawarkan beragam model identitas serta tujuan hidup yang umumnya saling bertolak belakang. Bagaimanapun, remaja bukanlah fisuf yang memiliki cara berpikir sistematis dan mendalam sehingga bisa memutuskan sesuatu dengan baik. Mereka masih relatif rentan dena pengaruh orang-orang dewasa di sekitarnya. Semua bisa terjadi saat memasuki usia balig. Karena memang pada fase inilah seseorang memasuki jenjang kemampuan berpikir yang lebih dewasa. Pada saat masih kanak-kanak, seseorang belum berpikir tentang jati diri ataupun tentang identitas diri dan masih bergantung sepenuhnya pada orang tua serta identitasnya masih sama dengan identitas orang tua.
Tentu saja anak yang orng tuanya bermasalah akan mengalami masalah lebih dini, dan dampaknya malah lebih serius lagi. Anak yang dibesarkan secara tidak normal mungkin ia menjadi obyek keerasan dan seksual orang tua, atau ia diperlakukan secara tidak adil dalam keluarga, atau orang tuanya bertengkar terus-menerus dan kemudian bercerai cenderung mengalami kekacauan identitas diri. Banyak dari mereka yang kemudian mengalami gangguan psikologis yang serius. Lain halnya dengan anak yang tumbuh secara normal. Ia biasanya baru mengalami masalah pada saat memasuki usia remaja. Sebab perubahan fisiknya membuat ia memasuki dunia yang baru, dunia orang dewasa yang menuntut kedewasaan dalam segala hal. Ia kini harus menentukan identitasnya sendiri secara merdeka, boleh jadi tetap sama dengan orang tua, bisa jadi juga tidak. Banyaknya model serta nilai yang bervariasi di masyarakat modern sekarang ini cenderung membuat remaja merasa bingung untuk memilih. Nilai-nilai serta gaya hidup berbagai media massa dan elektronik seringkali berbenturan dengan nilai-nilai yang ada di keluarga, sehingga mereka tidak tahu harus memilh yang mana. Jangankan remaja, orang-orang dewasa sekalipun banyak yang mengalami kebingungan dalam menentukan identitas dirinya. Artinya, tidak sedikit orang dewasa sekarang ini yang juga merasa galau tentang siapa dirinya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Sebenarnya, keberadaan remaja ini bukanlah suatu alami. Ia bukanlah hal yang natural. Seharusnya, pada saat memasuki masa puber, seseorang harus sudah siap dengan identitas diri sebagai orang dewasa. Dengan kata lain, kedewasaan sosial dan psikologis idealnya terjadi dalam waktu yang bersamaan dengan kedewasaan fisik. Harusnya, tak lama setelah seseorang memasuki usia puber secara bersamaan harus bisa menerima status sebagai orang dewasa, sama dan sejajar dengan orang dewasa lainnya. Akan tetapi, jangan membayangkan bahwa seseorang berhak bertingkah laku negatif sebagaimana orang dewasa. Inilah kesalahpahaman yang biasa terjadi di kalangan remaja sekarang. Kaum remaja sekarang lebih merupakan korban kebodohan ketidakpedulian masyarakat modern dewasa. Seseorang harus memahami bahwa dengan menjadi seorang yang dewasa berarti mereka harus siap untuk mandiri. Apapun yang mereka lakukan, maka mereka harus tahu dan harus siap untuk menanggung segala konsekuensinya.” Seorang anak boleh menangis, pria dewasa menyembunyikan kepedihanya” kata Nelson Mandela. Jadi yang terpenting bagi seorang yang dewasa adalah bagaimana bersikap dalam menghadapi persoalan ini. “ Lebih baik menyalakan sebatang lilin daripada mengutuki kegelapan”, kata peribahasa Cina.
Sumber : Alatas Alwi. 2005. 13+ Remaja Juga Bisa Bahagia Sukses Mandiri. Jakarta. Pena Pundi Aksara